Penulis : Usman Lamreung (Civitas Akademika Universitas Abulyatama Aceh, Pengamat Pemerintahan, Civil Society dan Lingkungan).
Banda Aceh, Minggu (31/7/2022) - Potensi sumber daya alam minyak dan gas bumi di perairan Aceh masih sangat menjanjikan. Hal ini berdasarkan hasil pengeboran yang dilakukan di Wilayah Kerja Andaman. Wilayah Kerja Andaman terdiri dari 3 Wilayah Kerja yaitu Andaman I yang dikelola oleh Mubadala Petroleum RSC Ltd, Andaman II oleh Premier Oil Andaman Ltd dan Andaman III oleh Repsol Andaman B.V.
Potensi masing-masing Wilayah Kerja tersebut diperkirakan rata-rata 6 TCF.
Sumber Daya Alam migas Aceh adalah sebuah anugerah dan patut dibanggakan oleh rakyat Aceh. Namun pertanyaan adalah dengan potensi sumber daya alam migas tersebut apa yang didapatkan dan dirasakan oleh rakyat Aceh? Apa yang sudah disiapkan pemerintah Aceh dan Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) dengan penemuan migas tersebut? Apakah rakyat hanya menonton saja? Apakah sumberdaya manusia Aceh dilibatkan? atau hanya menonton dan mengurut dada?
Jangan sampai dengan ditemukan sumberdaya alam migas di Aceh, rakyat Aceh hanya sebagai penonton saja, mencium asap polusi saja? atau hanya menjadi musibah?
Sebagai contoh konflik yang terjadi saat ini warga lingkar tambang, saudara Khairil Anwar dengan perusahaan Medco E&P Malaka.
Konflik warga dengan PT. Medco E&P Malaka malah sudah ada keputusan pengadilan namun belum Inkrah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 62/pdt.G/2020/PN Jakarta Selatan atas gugatan perdata warga Gampong Alue Ie Mirah kecamatan Indra Makmu Kabupaten Aceh Timur saudara Khairil Anwar terhadap perusahaan Medco sebagai tergugat 1, SKK Migas sebagai tergugat 2,dan BPMA sebagai tergugat 3.
Jika kita cermati, salah satu putusannya (walaupun belum inkrah) para tergugat diduga terbukti lakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), ini mengindikasikan kontraktor Blok A (Medco) dan regulatornya BPMA belum begitu baik dalam mengelola sumberdaya alam di Aceh. Dapat dipastikan Badan Pengelolaan Migas Aceh sebagai bagian pengawasan, masih sangat lemah dalam melakukan pengawasan yang menyebabkan terjadinya konflik masyarakat dengan perusahaan.
Menurut kami ada sisi yang menjadi pertanyaan besar seperti dalam menghadapi gugatan warga pada pengadilan tingkat pertama, Medco dan BPMA menunjuk tim legal (pengacara) yang pasti bayarannya mahal, apakah costnya di hitung sebagai biaya operasional migas dan dibebankan pada skema cost recovery atau penggantian biaya operasional migas yang menggunakan anggaran negara?.
Atau menjadi beban kontraktor yang biasa di sebut sebagai kerugian bisnis dan merupakan tanggungan kontraktor sebagai konsekuensi melakukan pelanggaran dalam bisnisnya akibat perbuatan melawan hukum.
Isu ini menjadi penting karena jika nantinya pada putusan pengadilan tinggi Medco harus membayar ganti rugi sesuai materi gugatan tersebut, apakah menggunakan dana cost recovery atau dana si kontraktor itu sendiri?
Sebelum ke pengadilan warga sudah mencoba melakukan somasi sebelum di gugat di pengadilan, namun tidak ada titik temu. Sekarang “kita” berharap PT. Medco E&P Malaka hendaknya berupaya berkomunikasi kembali dengan warga tersebut di luar pengadilan, karena menurut “usman lamreung” perbuatan melawan hukum (PMH) dapat menjatuhkan reputasi dan menjadi preseden buruk bagi perusahaan tersebut.
Namun terlepas persoalan keperdataan dari kedua belah pihak, putusan tersebut menjadi salah satu parameter catatan buruk tata kelola sumberdaya alam gas di Aceh.
Maka sudah sepatutnya pemerintah Aceh dan BPMA punya strategi dalam menyelesaikan persoalan masyarakat dengan perusahaan migas di Aceh.[]